Wahyuddin Fisioterapi Pertama di Indonesia

Esaunggul.ac.id, Aktivitas di ruang laboratium Fisioterapi olahraga, Terapi latihan, dan Kardiopulmonal Universitas Esa Unggul, Kebun Jeruk, Jakarta Barat, siang itu (16/11) superpadat. Belasan atlet menjalani treatment dari para personal fisioterapis. Salah seorang atlet yang sedang menjalani treatment adalah gelandang Sriwijaya FC Palembang Ichsan Kurniawan. Pemain berusia 22 tahun tersebut menjalani program terapi penyembuhan cedera lutut.

Di tengah aktivitas treatment para atlet, pria berperwakan gemuk memasuki ruang laboratorium Fisioterapi olahraga, terapi latihan, dan Kardiopolmunal. Dia adalah Ketua Pusat Studi Fakultas Fisioterapi Universitas Indonusa Esa Unggul Wahyuddin. Dia datang untuk memantau jalannya Treatment. Termasuk melihat perkembangan penyembuhan cedera Ichsan. “Memang banyak pesepak bola yang datang ke sini untuk menjalani terapi,” tuturnya kepada Jawa Pos.

Wahyuddin menerangkan, Universitas Indonusa Esa Unggul ramai didatangi para atlet dan pesepak bola profesional karena kualitas. Perguruan tinggi tersebut memiliki tenaga ahli yang dapat menangani setiap permasalahan atlet. “Kami mengikuti standardisasi dari luar luar negeri. Itu yang kami tawarkan. Karena itu, meskipun tidak dipromosikan ke publik, tapi selalu ada pasien yang datang ke sini,” terang pria kelahiran Kaluku, Sulawesi Selatan, 4 Desember 1974, tersebut.

Meski menjabat Ketua Pusat Studi Fakultas Fisioterapi Universitas Indonusa Esa Unggul, Wahyuddin tetap ikut turun gunung menangani pasien. Dia menerangkan, pasien ditangani di luar waktunya mengajar. Meskipun membagi tugas pekerjaan, pria berusia 43 tahun itu tetap teliti dan fokus menagani pasien. ” Saya mengatur waktu supaya sinkron dengan kegiatan. Jadi, menangani pasien benar-benar berdasarkan perjanjian,” ungkap bapak satu anak ini.

Kendati demikian, tidak banyak pasien yang ditangai langsung oleh Wahyuddin. Mengajar dan menjalani peran sebagai Ketua Pusat Studi Fakultas Fisioterapi Universitas Indonusa Esa Unggul tetap menjadi fokus utama. Dalam menjalani peran sebagai dosen dan Ketua Pusat studi Fakultas Fakultas, anak sulung tujuh bersaudara di keluarganya itu ingin mengikis ketertinggalan Indonesia dengan negara-negara di Asia Tenggara dalam urusan Fisioterapi.

Wahyuddin menerangkan, Fisioterapui di beberapa negara di Asia Tenggara sudah melampaui Indonesia,. Thailand, misalnya, Kampus Negeri Gajah Putih itu sudah memiliki jenjang Doktoral Fisioterapi. Hal itulah yang menjadi alasanya tertarik menempuh Pendidikan S-3 di Mahidol, University, Thailand. Di Universitas itu, Wahyuddin mendapat gelar doktoral sekaligus doktor Fisioterapi pertama di Indonesia. Pria lulusan akademi Fisioterapi Makkasar itu mengungkapkan, kesempatan menempuh pendidikan di Mahidol University didapat dengan jalan beasiswa.

“Saat itu, saya memutuskan untuk mengambil jenjang S-3 di Thailand karena Indonesia ketinggalan di bidang pendidikan Fisioterapi. Karena itu imbasnya pelayanan publik belum maksimal”. Jelas pria yang mengambil pendidikan S-2 di Asia University, Taiwan tersebut. Karena niat mulia itu, saat menyandang gelar doktor, wahyuddin pulang ke tanah air untuk memajukan dunia Fisioterapi di Indonesia. Meskipun sebenernya, gelar dkotor, Wahyuddin bisa bekerja di luar negeri.

” Di luar negeri, potensi financial dan opportunity untuk riset memang lebih bagus. Tapi, saya pulang ke Indonesia karena rasa tanggung jawab. Lagi pula, saya mendapatkan beasiswa kan dari pemerintah.” ujarnya.

Tanggung jawab Wahyuddin untuk memajukan Fisioterapi di Indonesia diterapkan di Indonusa Esa Unggul. Salah satu perubahan yang dilakukan Wahyuddin adalah mengubah pola pikir masyarakat terhadap peran Fisioterapis. ” Fisioterapis disiapkan untuk membantu tugas dokter. Dulu, seorang Fisioterapis tidak perlu dalam ilmunya. Cukup skill-nya saja yang bagus. Sekarang tidak bisa begitu,” tegasnya.

Menurut Wahyuddin Indonesia tidak tertinggal jauh dari negara dalam hal skill, namun dalam hal Basic science, Fisioterapi negara lain jauh lebih unggul daripada Indonesia. Karena itu, Wahyuddin menekankan Fisioterapis Indonesia harus memiliki wawasan yang tinggi. ” Itu kemudian kami pelan-pelan mengadopsi hal tersebut melalui mata kuliah. Saya berharap ketertinggalan Indonesia tidak melebar,” ucapnya.

Wahyuddin ingin Fisioterapis di Indonesia tidak sekedar menjadi pekerja medis. Dia ingin Fisioterapis menjadi ilmuwan yang bekerja. Karena itu, seseorang Fisioterapis harus memiliki pengetahuan yang tajam. Fisioterapis juga harus bisa berpikir kritis,” Memang tidak mudah mengubah paradigma itu. Tapi, untuk menjadi Fisioterapis, harus menguasai pengetahuan dan Skill,” tegas pria yang sangat gemar bermain badminton tersebut.

Secara tidak langsung dampak perubahan pola pikir itu membuat animo masyarakat untuk menekuni ilmu Fisioterapi meningkat. Wahyuddin berharap animo masyarakat bisa semakin bertambah. Angka peminat Fisioterapi meningkat. Namun, program studi Fisioterapiu belum menjadi Primadona. “Hampir jarang saya temukan pilihan utama calon mahasiswa saat mendaftar kuliah adalah mengambil program studi Fisioterapi,” jelasnya.

Menurut Wahyuddin, program studi Fisioterapu belum menjadi primadona karena belum semua lapisan masyarakat mengenalnya. Terutama masyarakat pedesaan. ” Di desa kan indentik dengan pengobatan tradisional. Jadi, perkembangannya agak lambat. Tapi, kalau di kota, sudah berkembangnya agak lambat. Tapi kalau di kota, sudah berkambang. Apalagi setelah melihat Tim Nasional Indonesia memiliki Fisioterapi,” terang pria yang sempat tertarik menekuni Ilmu Ekonomi tersebut.

Jarum jam menunjukan pukul 14.36, seiring waktu berjalan obrolan hangat dengan Wahyuddin harus berakhir. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikannya sebelum meninggalkan kampus. Salah satunya pasien, menangani pasien. Mudah-mudahan , Wahyuddin selalu diberi kesehatan supaya bisa terus membuat perubahan di dunia Fisioterapi Indonesia. Semoga.